A. Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Ushul Fiqih
Secara pasti, tumbuhnya
ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya
lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah
/ metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian
hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.
B. Masa Nabi SAW
Pada masa Nabi Muhammad
masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada
Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT.
Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan
pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis
muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di
Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
ٍأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ
أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ
قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ
رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus
Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana
engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan
Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam
Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi
bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab:
saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi
Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Dari keterangan di atas
dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa
sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan
tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang
membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya
di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut
tidak ditemukan maka dapat berijtihad.
C. Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat,
pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H
sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para
pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada
masa ini pintu ijtihad/ istimbat telah mulai dikembangkan, yang
pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan
yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-Ra’yu”
dalam melakukan ijtihad.
Istilah “al-Ra’yu”
dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam
al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses
pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari
permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian
ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum
menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih,
namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
D. Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in,
penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai permasalahan baru
muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas meluasnya daerah
kekuasaan Islam, lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok negeri dan mereka
banyak melakukan ijtihad. Selain itu juga disebabkan orang-orang non-Arab yang
banyak yang memeluk Islam.
Pada periode ini terdapat
pengembangan dari metode yang telah digunakan para sahabat. Tokoh-tokoh dan
Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa antara lain: Said
bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Sebagai
dasar pijakan di dalam proses berijtihad dan memberikan fatwa, mereka
mengembangkan dan menambah dari berbagai metode yang pernah dirintis oleh sahabat,
seperti Qawl Sohabi (fatwa sahabat). Namun demikian ilmu Ushul Fiqih
pada periode ini juga masih belum terbukukan.
E. Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)
Pada periode ini, metode
penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian
bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya.
Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya
dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati
dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu
Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan
bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis-
lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum,
dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu
Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah
Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode
penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih.
Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum
fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil
diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia
memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak.
Berbekal pengalaman
beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad
bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah
yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang
berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang
menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah
inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu
Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi
nama “al-Risalah”. Namun
demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam
Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.
F. Periode Taklid
Yaitu periode statis dan
kebekuan yang berlangsung sejak pertengahan abad keempat Hijriah yakni sekitar
tahun 351 H dan tidak seorangpun yang tahu masa berakhirnya kecuali Allah.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung setelah nabi wafat, yaitu pada
periode sahabat. Pemikiran ushul fiqh pun telah ada pada waktu perumusan fiqh
tersebut. Diantaranya adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi
Thalib yang sebenarnya sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam merumuskan
hukum meskipun belum dirumuskan secara jelas.
Berkaitan dengan hal di
atas, pada periode ulama, metode-metode untuk mengistinbat hukum mengalami perkembangan
pesat diiringi dengan munculnya beberapa ulama ushul fiqh ternama seperti Abu
Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Berangkat dari keragaman metode dalam
mengistinbatkan hukum inilah yang menyebabkan perbedaan aliran fiqh dalam
beberapa madzhab tersebut.
Abu Hanifah menetapkan
al-Qur’an sebagai sumber pokok, setelah itu hadits Nabi, baru kemudian fatwa
sahabat. Dan metodenya dalam menerapkan qiyas serta istihsan sangat kental
sekali.
Sedangkan Imam Malik
lebih cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan tradisi yang ada di
Madinah. Beliau termasuk Imam yang paling banyak menggunakan hadits dari pada
Abu Hanifah, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya hadits yang beliau temukan.
Selain dua Imam di atas,
tampil juga Imam Syafi’i. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan yang
sangat luas, didukung dengan pengalamannya yang pernah menimba ilmu dari
berbagai ahli fiqh ternama. Hal ini menjadikan beliau mampu meletakkan pedoman
dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Kemudian beliau menuangkan
kaidah-kaidah ushul fiqh yang disertai dengan pembahasannya secara sistematis
yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian ke dalam sebuah kitab
yang terkenal dengan nama “Risalah“.
Risalah ini tidak hanya
dianggap sebagai karya pertama yang membahas metodologi ushul fiqh, akan tetapi
juga sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para ahli yang datang kemudian untuk
berusaha mengikutinya. Atas jasanya ini beliau dinilai pantas disebut sebagai
orang yang pertama kali menyusun metode berfikir tentang hukum Islam, yang
selanjutnya populer dengan sebutan “ushul fiqh“. Bahkan ada salah seorang
orientalis yang bernama N.J Coulson menjuluki Imam Syafi’i sebagai arsitek ilmu
fiqh. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa bukan berarti beliaulah yang
merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, karena jauh sebelumnya seperti yang
telah dijelaskan diatas, bahwa mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan
dikalangan para Imam mujtahid sudah menemukan dan mengunakan metodologi dalam
perumusan fiqh, hanya saja mereka belum sampai menyusun keilmuan ini secara
sistematis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai suatu khazanah ilmu yang
berdiri sendiri.
Sepeninggal Imam Syafi’i
pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang. Pada dasarnya
ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mengikuti dasar-dasar yang
sudah disusun Imam Syafi’i, namun dalam pengembangannya terlihat adanya
perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh.
Sebagian ulama yang
kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh dengan
beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci dan mencabangkan pokok
pemikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuknya
yang sempurna. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengambil sebagian dari
pokok-pokok Imam Syafi’i, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat
rincian. Namun sebagian lain itu mereka tambahkan hal-hal yang sudah dasar dari
pemikiran para Imam yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah
pemikiran Syafi’i.
Setelah meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh Imam-imam pendahulunya.
Setelah meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh Imam-imam pendahulunya.
G. Masa Pasca Imam Syafi’i
Sesudah masa Imam
Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai
corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa
(al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi,
544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih
(Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul
Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan
kedalam dua corak, pertama, Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih
Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang
melatar belakangi beragam corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan
kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks
sumber agama, al-Quran dan Hadis.